10 Januari 2009

Berburu Shipwreck di Selayar

Matahari hampir tenggelam di ufuk barat. Sangat indah, tapi tetap saja tidak bisa mengobati kegundahan saya. Shipwreck yang kami cari hingga hari-hari terakhir jadwal pencarian belum juga berhasil ditemukan, padahal berbagai informasi telah dihimpun sebelumnya dan peralatan canggih sudah digunakan untuk mendeteksi “kenampakan” di dasar laut. Selayar adalah salah satu lokasi yang menjadi prioritas pencarian kami selain Biak, Morotae, Derawan, Banten, dan Bangka. Pencarian kapal karam ini disponsori oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Khusus untuk pencarian di Selayar, dari tanggal 21 – 29 Juni, dilakukan atas kerjasama Pemda Selayar, BP3 Makassar, DKP, dan Direktorat Arkeologi Bawah Air Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Kami hanya memiliki waktu satu hari lagi. Sementara itu kapal kayu yang kami tumpangi posisinya berada 4 jam perjalanan dari base camp kami di Benteng, ibukota Selayar. Jika kami pulang ke Benteng, maka hampir dipastikan usaha kami mencari kapal karam tidak akan membuahkan hasil. Akhirnya kami putuskan untuk singgah di Kampung Bahuluang, pulau terdekat saat itu. Kapal kami tidak bisa mendarat karena air laut sedang surut. Kami terpaksa berenang dan membiarkan kapal terjangkar di karang.

Kami disambut oleh kepala dusun yang sangat ramah. Ia memberitahu bahwa tidak jauh dari pulaunya terdapat kapal yang tenggelam ratusan tahun silam. Untuk meyakinkan kami, ia memanggil tetua kampung di situ. Rurung Daeng Patunru namanya. Pria berusia 81 tahun ini meyakinkan kami bahwa saat ia kecil, ia sering bermain di sekitar kapal karam. Tempatnya mudah ditengarai karena cerobong asapnya masih muncul di permukaan. Berdasar informasi tersebut ingin rasanya segera pagi untuk memburu harta karun yang sangat penting untuk bahan menyusun sejarah maritim kita dan ditunjukkan pada publik melalui pariwisata.

Pagi sekali, setelah sarapan mie secukupnya yang disajikan kerabat kepala dusun, kami mulai mengusung delapan set SCUBA ditambah tiga tabung cadangan, dibagi dalam dua perahu yang sudah kami carter dari dusun. Deru mesin 50 PK mendorong perahu kami melaju pada titik yang ditunjukan Daeng Patunru. Dua ekor lumba-lumba seolah menantang adu kecepatan dengan perahu kami. Mereka menang karena berada di depan lalu menyelam ke kedalaman. Hilang ditelan laut biru.

Setelah 1,5 jam akhirnya kami tiba di titik yang dituju. Di sana sudah terdapat empat perahu. Dua perahu langsung pergi begitu kami datang, sedangkan dua perahu lainnya tetap diam diayun gelombang. Tetapi para awaknya nampak berkemas. Sebuah kompresor terdengar hidup dan ada satu selang menjulur ke laut. Spontan saya mengambil masker, snorkel, dan fin, lalu mencebur ke laut. Di bawah ada dua penyelam sedang mengaduk-aduk dasar laut menggunakan sekop. Selang kompresor terhubung ke mulutnya. Belakangan diketahui mereka sedang mendulang besi kapal yang karam ratusan tahun silam. Melihat kehadiran kami, si penggali besi itu naik ke permukaan, lalu ditarik temannya dan pergi meninggalkan kami yang masih ternganga.

Kalah Cepat

Menurut nakhoda perahu kami, yang dibenarkan kepala dusun, pengangkatan kapal karam itu sudah terjadi selama dua tahun oleh sekelompok orang dari Parasi, sebuah kampung tidak jauh dari lokasi itu. Besi-besinya dihancurkan menggunakan bom dan dipotong-potong menggunakan gergaji. Setelah ditempatkan dalam wadah di dasar laut, lalu ditarik ke atas perahu dan ditumpuk dulu di kampung. Beberapa potongan besi berukuran besar diikat tali lalu langsung ditarik. Setelah banyak, “rongsokan” itu dibawa ke Bantaeng, dijual kepada seorang Cina yang berkerja sebagai pengumpul besi bekas.

Kami kalah cepat. Ketika kami selami, yang tersisa tidak lebih dari sepertiga kapal. Panjangnya 75 meter dan lebar 12 meter. Jika ditemukan utuh, ukurannya tentu lebih besar. Sisa-sisa bangkai kapal tersebut sebagian besar masih tertimbun pasir. Beberapa bagian telah tersingkap karena sempat digali oleh para pemburu besi. Di dasar laut berkedalaman 8 meter itu masih dijumpai beberapa alat gali seperti sekop dan cangkul yang diberi pemberat. Ada juga dua box yang berisi serpihan besi, dan satu karung berisi batu yang tidak jelas jenisnya. Nampaknya barang-barang itu sudah siap diangkat, namun tidak sempat karena mereka keburu kabur melihat kedatangan kami.

Kami berusaha mencermati jengkal demi jengkal. Masing-masing mempunyai tugas: ada yang merekam dengan kamera video, memotret, dan mengukur. Dalam menjalani pengamatan itu, kami juga mencoba memungut beberapa bendan yang menurut kami penting. Saat itu, dalam penyelaman selama 51 menit, kami menemukan pecahan botol, pecahan keramik, tulang iga, serpihan tengkorak, keramilk, kabel, arang, karet sil, dan batu-bara. Selain itu kami juga mengambil kayu dan serpihan besai kapal untuk sampel. Pada salah satu kepingan keramik ditemukan tulisan “Made in England” dengan lambang mahkota Ratu Inggris.

London Trinity

Menurut keterangan salah satu penduduk lokal, dalam salah satu bongkahan besi yang pernah diangkat, dijumpai tulisan “London Seriti”. Mungkinkah itu nama kapal tersebut? Tapi tentu saja kata Seriti perlu dipertanyakan karena tidak ada dalam kamus bahasa Inggris. Kemungkinan namanya “London Trinity”. Jika dugaan ini benar, maka kapal tersebut jelas merupakan kapal Inggris.

Berdasarkan jejak-jejak yang tersisa, kapal besi berukuran panjang lebih dari 75 meter itu jelas adalah kapal uap karena di sekitar bangkai kapal ditemukan batu bara dan arang yang mulai membatu. Dugaan ini dikuatkan oleh cerita penduduk bahwa sampai tahun 1980-an cerobong asap dari kapal tersebut masih mencuat ke permukaan laut. Banyak nelayan yang sering singgah atau menambatkan perahu di cerobong tersebut.

Dari onggokan kayu yang mulai lapuk, yang ditemukan di sekitar lambung kapal, menjadi jelas pula bahwa bagian sekat-sekat ruangan dan lantai kapal terbuat dari kayu. Sayangnya kami masih kesulitan merekonstruksi bentuk kapal tersebut karena yang tersisa tinggal bagian lambung kanan-kiri yang mana bagian bawahnya masih tertimbun pasir. Perlu penggalian untuk mengetahui bentuk kapal tersebut.

Apatana Dikira Makassar

Pada abad ke-16 Portugis dan Spanyol menguasai pelayaran ke Asia serta menguasai perdagangan rempah-rempah antara Asia dengan Eropa, khususnya perdagangan lada. Dalam perkembangan selanjutnya di Eropa, Raja Portugal memiliki kekuasaan tunggal atas pengangkutan dan pembelian hasil bumi dari Asia. Pada tahun 1551, Alfonso d’Albuquerque, panglima Portugis, menaklukkan Malaka. Tapi panglima Portugis itu sama sekali tidak menduga bahwa kejatuhan Malaka bukan saja menyebabkan Malaka menjadi sasaran penyerbuan dari kekuatan Islam di perairan Barat Indonesia, tetapi juga menyebabkan terjadinya pemencaran dari pusat-pusat perdagangan Islam. Maka sementara beberapa negara-kota di pantai Utara Jawa dan Johor, penerus Dinasti Malaka, di tempat-tempat lain kota-kota dagang baru pun bermunculan. Pada waktunya sebagian dari kota-dagang dan pelabuhan persinggahan bagi para pedagang Islam yang baru ini pun tumbuh sebagai pusat kekuasaan besar. Ketika inilah Makasar, Ternate dan Tidore, Aceh-Darussalam, serta Banten secara pelan tetapi pasti menjadi kerajaan Islam yang besar yang telah diperhitungkan oleh para penjelajah dan saudagar dari Eropa. Pada situasi seperti ini, Makassar menjadi sangat strategis karena berada di antara persilangan hubungan itu. Banyak kapal-kapal Eropa yang berlayar dan atau singgah di Makassar untuk menjalin hubungan perdagangan.

Secara kearkeologian, ramainya Makassar dapat dibuktikan dengan banyaknya informasi kapal Eropa yang karam di sekitar perairan Makassar dan sekitarnya, termasuk di Kepulauan Selayar. Selain dalam bentuk kapal, bukti lain adalah berupa meriam, jangkar, dan nekara yang ditemukan di Selayar. Menurut Pak Rurung Daeng Patunru, nekara biasa digunakan sebagai petanda asal kapal tersebut. Sebelum berlabuh di pelabuhan, awak kapal harus memukul nekara dengan nada tertentu untuk menunjukkan kapal tersebut dari mana. Setiap daerah, seperti Jawa dan Ternate, memiliki nada tertentu yang bisa dibedakan oleh Syahbandar di pelabuhan. Di Selayar ditemukan nekara yang konon sampai saat ini merupakan nekara terbesar yang ditemukan di Indonesia.

Menurut Daeng Patunru, kapala London Trinity (sementara sebut saja dengan nama itu) sesungguhnya hendak berlabuh di Makassar. Namun nampaknya si nakhoda keliru. Lampu-lampu yang cukup marak di Apatana (bgian paling selatan dari Pulau Selayar) dikira Makassar. Ketika kapal melaju ke arah itu, London Trinity tersangku pada sebuah gosong di antara pulau Bahuluang dan Tambolongan. Jika malam hari gosong tersebut tentu tidak nampak karena kapal-kapal tempo dulu belum dilengkapi alat yang bisa mendeteksi kedalaman. Maka London Trinity pun menabrak gosong tersebut sehingga karam. Tempat tersebut kini dikenal sebagai Taka Bayangan Kapal. Taka artinya karang, sedangkan disebut bayangan karena dari permukaan kapal karam tersebut nampak seperti bayangan.

Konon kapal tersebut membawa kuda, kambing, kerbau yang merupakan pesanan saudagar kaya di Makassar. Adapun pesanan tersebut kemungkinan besar berasal dari daerah Ternate dan atau Nusa Tenggara Timur. Menurut cerita Ponggah Mahrupun, orang tua Daeng Patunru yang telah meninggal 20 tahun silam di usia 125 tahun, kapal tersebut sudah karam sejak Ponggah Mahrupun masih kecil. Selain membawa barang-barang, kapal tersebut juga membawa uang kertas dan uang logam. Karena penduduk dari pulau tersebut belum mengenal uang kertas maka uang tersebut dibuang. Uang logam yang ada dalam peti diserahkan oleh penduduk yang masih bersahaja itu kepada penguasa di Makassar. Dari Makassar, peti berisi uang itu konon dikirim ke Batavia.

Nilai arkeologis

Meskipun kalah cepat oleh pengumpul besi rongsokan, tapi penemuan kapal karam tersebut tetap berarti secara kesejarahan dan kearkeologian. Kapal tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu bukti hubungan ekonomi dan budaya pada abad-abad ke-17 hingga 18 Masehi. Sejarah kolonial yang selalu diangkat oleh penguasa negeri ini selalu saja tentang perang dan penjajahan, padahal di balik itu banyak jalinan kebudayaan dan perdagangan yang dilakukan dengan damai antara pusat-pusat peradaban di Nusantara ini dengan bangsa-bangsa dari Eropa dan Asia Daratan.

Untuk mengetahui nilai kesejarahan dan kearkeologian yang lain, belum terlambat jika dilakukan penggalian untuk menampakkan bangkai kapal yang sekarang masih tertimbun oleh pasir dan karang. Masih banyak hal yang bisa diungkap dari penggalian tersebut, seperti teknologi mesin yang tentu berada di bagian bawah dan masih tertimbun, bentuk kurve lambung untuk membantu merekonstruksi bentuk kapal, dan tentu yang jauh lebih penting adalah mengais sisa-sisa muatan kapal, siapa tahu ada barang berharga yang disembunyikan di bagian bawah kapal. Jaman dahulu memang ada kebiasaan seperti itu untuk menghindari dirampas perompak.

Jika mau dihitung secara ekonomi, tidak mungkin para penduduk kampung kerja keras menggali di dasar laut hanya untuk mengambil besi kapal seharga tiga ribu rupiah per kilogram. Tentu ada niat lain, apalagi si pengepul besi rongsokan di Bantaeng dikenal sebagai penadah barang-barang antik. Selayar hanya satu contoh kecil. Di lautan Nusantara yang lain, ratusan kapal karam masih diburu dan diperebutkan. Ending-nya hampir selalu sama: arkeolog selalu kalah cepat.

2 komentar:

  1. "need more speed" itu memang yang dibutuhkan arkeolog Indonesia, karena tidak hanya di darat tapi di laut pun warisan budaya kita dalam kondisi yang rawan dari kehancuran. Tulisan kang Jajang tentang shipwreck di Selayar dapat membuka mata hati kita untuk meningkatkan kecepatan dalam pengelolaan warisan budaya bangsa. some day, some were kita nyelam bersama bareng doel ama anjus dan kawan-kawan dari Makassar underwater Archaelogy Heritage.

    BalasHapus
  2. Terima kasih atas komentarnya. Senang jika kita bisa menyelam bersama lagi. Kalo punya tulisan atau foto, saya tunggu untuk ditampilkan di sini, biar rame, ok!

    BalasHapus